Selasa, 15 Februari 2011

KAFA’AH DALAM NIKAH


A.    PENGERTIAN KAFA’AH

Kafa’ah menurut bahasa adalah Kesederajatan /sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur).
Menurut istilah adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan.
Yaitu hendaklah seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal.

B.     LANDASAN KAFA’AH

àM»sWÎ7sƒø:$# tûüÏWÎ7yù=Ï9 šcqèWÎ7yø9$#ur ÏM»sWÎ7yù=Ï9 ( àM»t6Íh©Ü9$#ur tûüÎ6Íh©Ü=Ï9 tbqç7ÍhŠ©Ü9$#ur ÏM»t6Íh©Ü=Ï9 4 y7Í´¯»s9'ré& šcrâ䧎y9ãB $£JÏB tbqä9qà)tƒ ( Nßgs9 ×otÏÿøó¨B ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇËÏÈ  
“wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)[1034].
(QS. An-Nur : 26)

[1034] Ayat ini menunjukkan kesucian 'Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik Maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau.

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äytƒ «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (AL-Hujurat : 13)

[1407] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya.

Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

C.    MACAM-MACAM KAFA’AH

1.    MENURUT LIMA ULAMA MADZHAB

1)        Kafa’ah Menurut Mazhab Syafi’i

Menurut Imam Syafi’i  kafa’ah dalam pernikahan itu dalam empat perkara :. kebangsaan, keagamaan, kemerdekaan, dan mata pencaharian.

a)      Kebangsaan

Manusia itu ada dua bagian : Bangsa Arab dan bukan bangsa Arab (Ajam). Bangsa Arab ada dua macam : suku Quraisy dan suku yang bukan Quraisy.

Perempuan suku Quraisy hanya sederajat dengan laki-laki suku Quraisy dan tidak sederajat dengan suku yang bukan Quraisy. Perempuan Arab yang bukan suku Quraisy sederajat dengan laki-laki yang bukan suku Quraisy dan tidak sederajat dengan laki-laki bangsa Ajam.  Perempuan bangsa Ajam sederajat dengan laki-laki bangsa Ajam.

Jadi menurut Imam Syafi’i perempuan bangsa Arab, baik dari suku Quraisy atau dari suku bukan Quraisy, tidak sederajat dengan laki-laki bangsa Indonesia, India dan sebagainya, meskipun ibunya dari bangsa Arab.

b)      Keagamaan

Sepatutnyalah perempuan sederajat dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajat dengan laki-laki yang baik dan tidak sederajat dengan laki-laki yang fasik (pezina, pejudi, pemabuk dsb.). Perempuan yang fasik sederajat dengan laki-laki yang fasik. Perempuan pezina sederajat dengan laki-laki pezina.

Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ......
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.“ (QS. Al Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

c)      Kemerdekaan

Perempuan merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan tidak sederajat dengan laki-laki budak.

d)     Mata pencaharian

Laki-laki yang mata pencahariannya rendah, seperti tukang sapu jalan raja, tukang jaga pintu dsb., tidak sederajat dengan perempuan yang usahanya atau usaha bapaknya lebih mulia, seperti tukang jahit atau tukang listrik dsb. Laki-laki yang mempunyai mata pencaharian tidak sederajat dengan perempuan anak saudagar. Laki-laki saudagar tidak sederajat dengan perempuan anak ulama atau anak hakim.

Adapun kekayaan, maka hal ini tidak termasuk dalam kriteria pernikahan. Karena itu, laki-laki miskin sederajat dengan perempuan yang kaya.

Menurut Imam Syafii pula, kriteria pernikahan itu diperhitungkan dari pihak perempuan. Adapun laki-laki, ia boleh menikahi perempuan yang tidak sederajat dengan dia, meskipun kepada pembantu atau perempuan budak. Demikian menurut Imam Syafi’i.

2)      Kafa’ah Menurut Mazhab Hambali

Mazhab Hambali memiliki pendapat yang sama dengan mazhab Syafi’i, hanya ada tambahan satu perkara, yaitu tentang kekayaan. Menurut Imam Hambali, laki-laki miskin tidak sederajat dengan perempuan yang kaya.

3)      Kafa’ah Menurut Mazhab Hanafi

Menurut Imam Hanafi, kafa’ah dalam pernikahan itu dalam enam perkara: :kebangsaan (konsepnya hampir sama dengan Syafi’i),  keislaman, mata pencaharian (hampir sama dengan Syafi’i),  kemerdekaan,   keagamaan,    dan kekayaan (hampir sama dengan Hambali)

a)      Keislaman dan kemerdekaan
Menurut Hanafi, Laki-laki Muslim yang bapaknya adalah orang kafir tidak sederajat dengan perempuan muslimin yang bapaknya muslim.

Laki-laki budak yang sudah dimerdekakan, tidak sederajat dengan perempuan yang merdeka sejak lahirnya. Menurut Hanafi, laki-laki bangsa Ajam yang alim dan miskin, sederajat dengan perempuan bangsa Arab yang jahil dan kaya, bahkan sederajat juga dengan perempuan Syarifah/Sayyidah keturunan Alawiyah. Karena kemuliaan ilmu pengetahuan di atas dari kemuliaan kebangsaan dan kekayaan.

b)      Keagamaan

Pendapat Mazhab Hanafi tentang kafaah dalam urusan keagamaan sama dengan pendapat mazhab Syafi’i. Perbedaan keduanyanyaada pada beberapa perkara.

Perempuan yang soleh dan bapaknya fasik, lalu ia nikah dengan laki-laki fasik, maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidak berhak membantah (membatalkan) pernikahan, karena ia sama-sama fasik dengan laki-laki itu. Demikian menurut Imam Hanafi.





Menurut Imam Hanafi, yang dimaksud dengan fasik ialah :

o   Orang yang mengerjakan dosa besar dengan terang-terangan, seperti mabuk di tengah jalan atau pergi ke tempat pelacuran atau ke tempat perjudian dengan terang-terangan, dsb.

o   Orang yang mengerjakan dosa besar dengan bersembunyi, tetapi diberitahukannya kepada teman-temannya, bahwa ia berbuat demikian, seperti sebagian pemuda yang meninggalkan shalat lalu diproklamirkannya kelakuannya itu kepada teman-temannya bahwa ia tidak shalat dan tidak puasa. Maka pemuda itu tidak sederajat dengan perempuan yang soleh (mengerjakan shalat dan puasa).

4)      Kafa’ah menurut mazhab Maliki

Menurut Imam Maliki kafa’ah itu adalah tentang dua perkara saja :   keagamaan dan  keterbebasan dari cacat.

a)      Perempuan yang soleh tidak sederajat dengan laki-laki yang fasik, begitu juga perempuan yang selamat dari cacat tidak sederajat dengan laki-laki yang bercacat, seperti gila, sakit lepra, bala’, TBC, dsb.

b)      Adapun kekayaan, kebangsaan, perusahaan dan kemerdekaan, maka semuanya itu tidak diperhitungkan dalam pernikahan. Laki-laki bangsa Ajam seperti bangsa Indonesia, sederajat dengan perempuan bangsa Arab meskipun perempuan itu adalah Syarifah/Sayyidah keturunan Alawiah.  Laki-laki tukang sapu atau tukang kebun, sederajat dengan perempuan anak saudagar, bahkan anak orang alim.  Laki-laki miskin sederajat dengan perempuan yang kaya atau anak orang kaya, bahkan perempuan merdeka sederajat dengan laki-laki budak. Demikian menurut Imam Maliki.



Pendapat mazhab Maliki ini dianggap oleh sebagian ulama kontemporer sesuai dengan kondisi zaman sekarang, yaitu zaman demokrasi, zaman sama rata, sama rasa, dan zaman yang memandang mulia semua mata pencaharian dan pekerjaan yang halal. Dalilnya banyak, antara lain :

a)      Al-Qur’an

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(QS. Al-Hujuraat : 13).

5)      Kafa’ah Ja’fari menurut mazhab Ja’fari

Mazhab Ja’fari adalah cucu Rasulullah SAW yang bernama Imam Ja’far Ash-Shadiq (lahir 17 Rabiul awal 83 H, wafat 25 Syawal 148 H).

Mazhab Ja’fari tidak memandang keharusan adanya kafa’ah kecuali dalam hal agama, berdasar hadis Nabi Saw berikut ini :

“Apabila datang kepadamu orang yang bisa kamu terima agama dan akhlaknya (untuk mengawini anak-anak perempuanmu), maka kawinkanlah dia. Sebab, kalau hal itu tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan menjadi kerusakan yang berat.”


Bagaimanapun juga, keharusan adanya kafa’ah dalam perkawinan tentulah juga tidak sesuai dengan nash Al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujuraat : 13) dan dengan prinsip Islam yang berbunyi, “Tidak ada kelebihan sedikitpun bagi orang Arab atas orang Ajam (non Arab) kecuali dalam hal takwa.” Juga tidak sejalan dengan sunnah Rasul SAW ketika beliau memerintahkan Fathimah binti Qais untuk menikah dengan Zaid bin Usamah, dan menyuruh Bani Bayadhah untuk mengawinkan Abu Hind dengan salah seorang anak gadis mereka, padahal Abu Hind adalah seorang pembuat tali kekang kuda. (Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab

Setelah melihat berbagai pandangan dari para ulama mazhab fiqih tersebut di atas, jika kita akan mengikuti salah satu mazhab fiqih, apakah itu mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali,  atau Maliki, di sini masalah kafa’ah diperlukan dalam proses pernikahan. Tentunya di sini masalah kafa’ah dalam perkara apa saja, tergantung dari ketentuan yang telah digariskan oleh salah satu mazhab fiqih tersebut.

Kemudian kalau kita mengikuti mazhab Ja'fari, di sini masalah kafa'ah tidak dipersyaratkan. Mazhab Ja’fari  tidak memandang keharusan adanya kafa’ah kecuali dalam hal agama. Tentunya amat bijaksana kalau kita mengikuti  mazhab Ja'fari, kita konsekuen dengan ketentuan mazhab Ja’fari tersebut dan sebaiknya tidak mencampur adukkan dengan ketentuan mazhab fiqih yang lain misalnya dengan mazhab Syafi'i.

2.    MENURUT KITAB FATHUL MU’IN JILID 3

1)      Wanita merdeka sejak semula atu karena dimerdekakan, tidak seimbang dengan ‘abid.
2)      Wanita yang bersih jiwanya serta murni agamanya tidak bisa seimbang oleh laki-laki yang tidak seperti itu. Baik karena Fasik atu pembuat bid’ah.
3)      Wanita bernasab Arabiyyah, quraisyiyah, hasyimiyah, atu muthalibiyah tidak seimbang dengan yang bukan nasab tersebut.
4)      Lelaki yang hanya dirinya sendiri yang islam, tidak seimbang dengan wanita yang ayahnya atau kebanyakan orang tuanya muslim.
5)      Wanita yang tidak tersentuh pekerjaan-pekerjaan rendah (tinggi) tidak seimbang dengan laki-laki yang pekerja kasar.
Yang mempunyai penyakit tidak seimbang dengan yang sehat.

D.    MANFAAT KAFA’AH

Menjalankan konsep kafa’ah dalam proses sebelum terjadi akad pertikahan adalah merupakan suatu proses yang sangat urgen (Mu’tabarah) karena dengan adanya hal ini kedua calon dan wali bisa menggugurkan pernikahan.

Diantara manfaat kafa’ah adalah :

1.    Menajalankan Syariat Islam.
2.    Menciptakan keluarga yang Sakinah Mawaddah dan Warahmah sampai akhir hayat.
3.    Mencegah perselisihan antara suami dan istri.
4.    Mencegah terjadinya pemurtadan.
5.    Memperbaiki keturunan

E.     CACAT TIDAK MEMPENGARUHI KAFA’AH (Boleh khiyar)

Cacat adalah kodar yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Yang sulit untuk dirubahnya kecuali dengan ikhtiyar dan doa yang maksimal.
Diantara kecacatan-kecacatan nikah adalah:

1.      Rataq (Lobang senggama tertutup daging)
2.      Qaran (Lobang senggama tertutup tulang)
3.       Jabb (dzakar putus)
4.      Unnah (Impoten, dzakar tidak bisa tegang)
5.      Bakhar (mulut berbau busuk)
6.      Sunan (keringat berbau busuk)

Setiap manusia menginginkan kesempurnaan, baik itu kesempurnaan jasmani dan rohani, tetapi manusia tidak ada yang sempurna, setiap manusia mempunyai kelemahan apapun itu. Maka dari itu kecactan tidak berpengaruh pada kafa’ah, ini semua tergantung kepada calon suami atau istrinya karena rasa suka tidak bisa dipaksakan, jika terjadi semua ini maka harus ada khiyar supaya pada masa depan tidak ada penyesalan.

F.     KEBOLEHAN PERNIKAHAN TANPA KAFA’AH.

Wali dari nasab atau wala berhak menikahkan anak perempuannya (wanita perwaliannya) dengan laki-laki yang tidak seimbang dengan adanya kerelaan hati perempuan yang bersangkutan dan wali-wali yang sederajat pun merasa rela maka halangan untuk menikah bisa hilang.

Tidak sah Qadli mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak seimbang, walaupun sang wanita rela, jika dalam keadaan wali yang sah tidak ada di tempat (Mafqud), karena Qadli itu hanya sebagai pengganti.

G.    PERNIKAHAN TANPA KAFA’AH YANG SALAH

Apabila perempuan ditikahkan dengan laki-laki yang tidak seimbang dengan cara paksa oleh Wali Mujbir atau dengan izinnya secara mutlaq diberikan tanpa dibatasi dengan laki-laki seimbang atau lainnya, maka pernikahannya itu tidak sah karena tidak ada kerelaan hati terhadap pernikahan seperti itu.

Apabila wanita mengizinkan untuk dinikahkan dengan lelaki yang dikiranya seimbang dan ternyata tidak, maka nikahnya sah dan tidak ada khiyar untuk wanita, karena kegegabahannya meninggalkan penelitian dahulu.

Tapi, perempuan mempunyai hak khiyar jika laki-laki tersebut ternyata cacad atau budak, sedangkan perempuan itu merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar